www.jejakhitam.com
Tajam Mengungkap Peristiwa

Baharuddin Lopa, Pejuang Keadilan Dari Tanah Mandar

MAKASSAR – Dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan, dengan sikap dan perilakunya yang konsisten dan tegas dalam menyuarakan kebenaran, membuat Prof. Dr. Baharuddin Lopa menjadi sosok manusia langka dari tanah Mandar.

Sebagai tokoh nasional suku Mandar, sikap kejujuran dan ketegasannya terlihat jelas dari pernyataan beliau yang mengatakan “Meski langit esok hari akan runtuh, kebenaran akan tetap ditegakkan.” 

Pria yang akrab disapa Barlop ini, lahir di Pambusuang Polewali Mandar, 27 Agustus 1935. Ia lahir di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat nelayan yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Tanah kelahirannya pun dikenal sebagai kampung panrita, tempat para calon ulama memperdalam dan menimbah ilmu agama hingga saat ini.

Semasa hidupnya, Barlop tak hanya dikenal sebagai sosok manusia yang bersahaja, tetapi juga berani dan tegas dalam menyuarakan keadilan. Ada begitu banyak cerita soal ini, salah satunya dapat ditemukan dalam tulisan almarhum Ishak Ngeljaran.

Dalam tulisannya yang berjudul “Mandar dalam Preskriptif Orang Lain”, Ishak bercerita.

Pernah suatu ketika pak Barlop ditanya, mengapa dirinya sangat berani menyuarakan keadilan di negara ini. Mendengar pertanyaan itu, Barlop hanya menjawab singkat, “Karena saya orang Mandar.”

Saat pernyataan itu ditanyakan ke salah seorang penyair nasional asal Mandar, Alm. Husni Djamaluddin, membenarkan pernyataan Barlop tersebut.  Husni Djamaluddin mengatakan, apa yang telah diucapkan, beliau mampu membuktikan lewat perbuatan dan tindakannya.

Menurut Ishak, satunya kata dan perbuatan pada diri Barlop, adalah nilai-nilai utama masyarakat Mandar yang dapat disamakan dengan “lempu” (keadilan, kejujuran dan keihlasan) dalam kearifan lokal masyarakat Bugis-Makassar.

Kesaksian lain dituturkan oleh Guru Besar UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr.  Ahmad M. Sewang. Lewat tulisan berjudul Prof. Dr. Baharuddin Lopa, Manusia Langka yang Pernah Kukenal” menuturkan pengalamannya.

Saat itu, Ahmad Sewang menyampaikan pesan yang sedang hangat diperbincangkan di Makassar, jelang pelantikan beliau sebagai menteri HAM di era Gus Dur.

Lewat telepon, Ahmad Sewang menyampaikan “Banyak orang yang bertanya, kenapa bapak ingin menerima jabatan sebagai menteri, bukankah kepemimpinan Gus Dur saat ini bak perahu sudah oleng mau tenggelam?”

Saat itu, dengan lugas Barlop menjawab “Banyak orang salah paham, saya ini bagai matahari yang sudah senja, sesaat lagi akan terbenam. Saya ingin memanfaatkan waktu yang singkat ini untuk mengabdi pada negara, bangsa, dan agama sedapat mungkin,” katanya saat itu. “Apa pun yang terjadi, walau umur tinggal sehari, hukum harus ditegakkan,” katanya lagi.

Konsistensi Barlop dalam menyuarakan dan memperjuangkan keadilan di bangsa ini, tentu tak bisa dilepaskan dari prinsip nilai-nilai budaya Mandar yang tertanam dalam dirinya. Nilai-nilai luhur tersebut, salah satunya dapat dilihat dalam sebuah pasang yang berbunyi :

“Mua purami dipallandang bassi’, pemali diliai, mua purami dipowamba, pemali dipeppondoqi. Disesena attoganan, petawung taqraqba, maroro tanddibassi”. 

Artinya; apabila sesuatu sudah ditentukan, haram untuk dilangkahi (diingkari), kalau sudah diucapkan/disepakati, pantang diingkari. Aturan harus tetap berjalan sesuai dengan azasnya. 

Olehnya itu, selain keberanian, kesederhanaan yang bersumber dari nilai-nilai luhur budaya Mandar juga menjadi modal utama Barlop dalam menyuarkan dan memperjuangkan keadilan. Prinsip nilai luhur itu tergambar dalam sebuah pasang yang berbunyi :

“Tuo’o sirua-rua di baona lino, da pallewaq peulleanggna batang. Sukurangi naung dalleq mau nasiccoqna, da pakkaweq tannaulle batammu, sukaqi ullena batang, da taqlewa-lewaq, da pacinna anu tassitinaya.” 

Artinya: hiduplah sederhana di atas dunia, jangan melampaui kemampuan dirimu. Syukurilah rezeki yang ada, meskipun sedikit, jangan menggapai di luar kemampuan diri, ukurlah kemampuan diri, jangan melampaui batas, dan jangan menginginkan sesuatu yang tidak pantas.

Dengan kesederhanaan hidup, Barlop mampu mebentengi dirinya dari sifat serakah, yang umumnya menimpa orang-orang punya jabatan.  Bagi Barlop, kesederhanaan hadir untuk mendidik manusia agar mampu menahan diri dari perilaku serakah.

Baginya, kesederhanaan hidup tak hanya menjanjikan kebahagiaan, tetapi juga membimbing manusia ke jalan yang lurus, mawas diri, mampu bersyukur, serta jauh dari sifat angkuh.  Sementara dalam konteks sosial, kesederhanaan hidup Barlop menjadi  budaya perlawanan terhadap sikap berlebih-lebihan,  perilaku hidup materialistis, dan  koruptif.

Hidup apa adanya tidak hanya menjadi simbol kejujuran baginya, tetapi juga tanda kematangan diri.  Olehnya itu, pada diri Barlop, kita bisa belajar tentang keteguhan memegang prinsip hidup sederhana, karena menurut Ishak, hanya orang jujurlah yang bisa memelihara sifat keberanian, bersikap kesatria, teguh pendirian, dan menjaga nama baik.

Singkatnya, kesederhanaan tidak membuat manusia miskin, apalagi terhina, justru kesederhanaanlah yang akan membuat manusia hidup bermartabat. Barlop menjadi manusia malaqbi (bermartabat) karena mampu hidup sederhana dan berintegritas. Karenanya, ia pun disegani orang-orang yang punya prinsip, dan sekaligus ditakuti oleh mereka, orang-orang yang tidak jujur.

Sebagai orang memahami budaya Mandar, meminjam pandangan Ishak, Barlop adalah sosok manusia yang mampu memadukan nilai-nilai agama dan budaya secara seimbang dan saling menunjang. Sehingga budaya dan agama tidak seperti air dan minyak, melainkan seperti gula yang mudah menyatu dengan air.

Makanya itu, saat Barlop ditanya tentang keberaniannya menyuarakan keadilan, ia tidak mengatakan “karena saya Islam”, tetapi karena “saya orang Mandar”.  Pernyataan ini sekaligus menandai kematangan pengetahuan Barlop soal relasi agama dan budaya di Mandar; tinggal bagaimana meneladankan.  Meski jawaban “saya orang Mandar” kedengaran sangat mudah dan sederhana, namun dalam inplementasinya sangatlah sulit. Banyak orang yang bisa bicara keadilan, namun sangat jarang ditemukan orang yang berani memperjuangkannya.

Atas pernyataan Barlop itu pula, jauh setelah beliau meninggal dunia, muncul pertanyaan bernada satire yang mengatakan; “Setelah pak Barlop berpulang, tidak ada lagi orang Mandar yang bisa melanjutkan perjuangannya”. Benar tidaknya pernyataan ini, tentu kembali kepada diri kita masing-masing, sebagai orang yang sering kali mengaku diri sebagai orang Mandar. (Bd)

Tulisan ini juga sebagian besar disadur dari tulisan Suaib Amin Prawono (Warga Mandar dan Pekerja Sosial di Jaringan GUSDURian) berjudul “Papasangnna Todiolo; Untaian Hikmah Kearifan Lokal Masyarakat Mandar Sulawesi Barat”