www.jejakhitam.com
Tajam Mengungkap Peristiwa

Marak Pembalakan Liar, JURnal Celebes : Kejahatan Kehutanan di Sulsel Meningkat

MAKASSAR – Di masa pandemi, kesempatan bukan hanya di manfaatkan oleh para pedagang kayu, masyarakat lokal sekitar hutan pun yang pendapatannya berkurang akibat dampak pandemi, terpicu memanfaatkan situasi yang berakibat pada Pembalakan liar (illegal logging) di Sulawesi Selatan. 

Direktur JURnaL Celebes Mustam Arif mengatakan, “<span;>Kejahatan kehutanan ini dilakukan dengan pola memanfaatkan masyarakat lokal sekitar hutan untuk melakukan pembalakan,” ujar Mustam, saat jumpa pers di Kafe Baca Makassar, Sabtu (30/01/2021).

Ia menerangkan, penegakkan hukum umumnya sampai pada pelaku lapangan dan jarang menyentuh pedagang kayu maupun aktor di belakang layar.

Pebisnis atau penjual kayu tampaknya memanfaatkan kesempatan di masa pandemi seperti ini. Ketika aktivitas masyarakat dibatasi dengan di berlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), momentum ini dimanfaatkan untuk melakukan pembalakan di hutan, karena situasi relatif aman.

“Dalam masa pandemi, baik pihak pengusaha/pedagang maupun masyarakat, yang sama-sama terdesak kebutuhan, bersimbiosis melakukan pembalakan liar. Sama-sama memanfaatkan situasi, ketika intensitas pengawasan hutan menurun karena di berlakukannya PSBB atau pembatasan wilayah serta jam beraktifitas karena Covid-19,” ungkapnya.

Hasil investigasi para pemantau independen dampingan JURnaL Celebes di beberapa kabupaten, ditemukan indikasi kejahatan illegal logging dilakukan dengan melibatkan atau bekerja sama dengan masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan. Pengusaha atau pengepul kayu memanfaatkan orang-orang lokal untuk melakukan penebangan.

“Batang kayu yang ditebang dikumpulkan di tempat tertentu. Kayu yang terkumpul, akan diangkut truk dibawa ke tempat pengumpulan setelah dari hutan, atau langsung ke industri pengolahan kayu, atau tempat penggergajian,” papar Mustam.

Dari hasil pemantauan kegiatan yang didukung FAO-FLEGT Programme ini, ada indikasi masyarakat lokal yang terlibat dalam jual beli kayu. Selain punya resiko hukum, dibanding pengusaha atau pembeli kayu yang memanfaatkan jasa masyarakat lokal.

Ketika pelaku lapangan diketahui petugas, yang ditangkap dan diproses hukum adalah pelaku warga masyarakat. Masyarakat yang menebang kayu, kalau tidak sempat melarikan diri, akan ditangkap petugas lalu di proses sesuai hukum yang berlaku hingga sampai ke pengadilan.

“Pihak pengusaha atau pedagang kayu yang memanfaatkan jasa masyarakat untuk menebang kayu, jarang tersentuh hukum. Padahal mereka sebenarnya adalah pemilik sekaligus pelaku utama penebangan kayu secara ilegal,” tambahnya.

Pemantau menduga, di antara pihak pembeli maupun penebang diduga ada kesepakatan untuk tutup mulut dengan kompensasi tertentu. Dugaan lain, penebang kayu dari warga masyarakat setempat setelah ditangkap petugas, tidak bisa mengungkap siapa yang mengajak kerja sama melakukan pembalakan liar karena sudah hilang jejak. Pemantau menduga pelaku kejahatan dari pihak pembeli/pengusaha kayu dengan cara ilegal, menggunakan pola “rantai putus” untuk menghilangkan jejak.

Dari sembilan kasus penangkapan kayu ilegal yang dicatat JURnaL Celebes selama pandemi, hampir semua pelaku yang diproses hukum, adalah warga masyarakat yang ditangkap karena menebang atau mengangkut kayu.

“Umumnya mereka diminta atau bekerja sama dengan pembeli atau pengusaha kayu,” ujarnya lagi.

Mustam melanjutkan, pihak yang menggunakan jasa warga, hampir semuanya lolos dari jerat proses hukum. Kecuali, kasus perusakan hutan di kawasan konservasi Ko’mara, kab. Takalar.

Setelah seorang warga diproses hukum sampai vonis pengadilan sebagai pelaku, pihak Kepolisian mengembangkan kasus ini. Akhirnya menetapkan tersangka dan menahan seorang tokoh masyarakat yang juga Wakil Ketua DPRD Kabupaten Takalar.

Kasus-kasus illegal logging di masa pandemi semuanya diproses hukum. Pada tahap awal, Petugas Balai Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi menangkap pelaku, memproses kemudian diserahkan ke Kepolisian. Di sini ada yang diproses sampai Pengadilan, tetapi ada juga dihentikan karena misanya dianggap tidak cukup bukti.

Publik jarang mengetahui seperti apa penyelesaian hingga kasus pembalakan liar atau peredaran kayu ilegal.

Penyelesaian akhir kasus-kasus hukum ini juga menjadi senyap karena selalu luput dari pantauan atau tindak lanjut media. Media hanya sampai memberitakan kasus dalam tahap awal ketika ada penangkapan dan proses hukum di Gakkum KLHK atau kepolisian. Namun, proses hukum tersebut, perlahan-lahan senyap dan masyarakat sudah tidak mengetahui keputusan akhir.

“Situasi ini sering menimbulkan kecurigaan publik bahwa penanganan kasus pembalakan liar dilakukan tanpa adanya ketegasan. Inilah yang membuat pelaku pembalakan liar bebas berbuat, karena tidak ada efek jera terhadap kejahatan Kehutanan ini,” pungkas Mustam.

Dalam lokakarya yang dilakukan JURnaL Celebes menjelang akhir tahun 2020, seorang penyidik dari Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi mengemukakan masih tidak sinkronnya proses hukum kejahatan kehutanan, sebab proses hukum kerap berakhir di institusi penegak hukum tertentu.

Sejak pandemi Covid-19, pembalakan kayu di hutan Towuti, Luwu Timur terjadi masif, terutama di kawasan Mahalona Raya. Sejak pertengahan 2020, bunyi mesin chainshaw masih kerap terdengar di kawasan ini. Di sepanjang jalan ke Mahalona atau di desa-desa di kawasan Mahalona.

Truk-truk mengangkut kayu bermuatan kayu log mondar-mandir setiap hari maupun terparkir di halaman rumah penduduk dengan muatan kayu log.

“Bila menelusuri jalan dari Wawondula, ibukota Kecamatan Towuti ke kawasan Mahalona, akan menjumpai truk bermuatan kayu bulat atau kayu setengah jadi terseok-seok beban muatan,” kata Mustam.

Di jalan antar desa di Kawasan Mahalona, hampir setiap hari juga menjumpai warga yang membawa chainshaw.

Kondisi ini sudah lama terjadi di kawasan Mahalona. Tetapi, Ardi, warga setempat, kata Mustm, aktivitas angkutan kayu log meningkat di sejak pandemi Covid-19. Penebangan kayu di hutan-hutan sekitar Mahalona makin meningkat dan masif.

Ini makin memperparah kondisi hutan Mahalona yang selama ini memang terjadi deforestasi (berkurangnya tutupan hutan) yang luar biasa.

Lanjut Mustam, selain ekspansi perkebunan dan pemukiman, deforestasi cukup parah di Kecamatan Towuti, juga akibat masifnya masyarakat membabat hutan untuk menam merica (lada). Komodi ini sejak beberapa tahun terakhir, harganya mahal meski fluktuatif.masyarakat di Luwu Timur sangat antusias menanam merica.

Mustam menceritakan, seorang warga Mahalona kepada pemantau independen menyatakan prihatin karena hutan-hutan di kawasan dataran rendah yang subur itu sudah nyaris tidak ada lagi. Aktivitas pengambilan kayu, menurut sumber tersebut, dilakukan oleh warga Mahalona sendiri dan juga dari luar. Mereka bekerja sama dengan warga setempat.

“Warga dari luar diduga mengupah warga setempat untuk menebang kayu,” katanya.

Ada yang hanya datang dengan mobil-mobil truk untuk mengambil kayu langsung ke tempat penebangan atau tempat pengumpulan.

Kawasan Mahalona Raya ditempuh dari Wawondula, Ibukota Kecamatan Towuti sekitar 20 kilometer melewati kawasan hutan yang sudah terdegradasi, diantara Danau Towuti dan Danau Mahalona, dua dari tiga danau (satu adalah Danau Matano) merupakan rangkaian danau tektonik di kawasan Kompleks Danau Malili. Kawasan dengan empat desa ini berbatasan dengan Morowali, Sulawesi Tengah.

Sesuai informasi, truk-truk pengangkut kayu membawa kayu ke Wawondula. Sebagian dibawa ke desa-desa sekitarnya untuk menjadi tiang rambat tanaman merica (lada).

Pemantau mendapatkan informasi sebagian besar dibawa ke tempat pengolahan kayu di Wawondula. Di tempat ini ada puluhan usaha pengolahan/penggergajian kayu di dekat dan tepi Danau Towuti. Sesuai informasi salah seorang pekerja, kayu-kayu dari hutan Mahalona atau sekitarnya didistribusikan untuk kebutuhan lokal setempat. Namun, menurut warga yang dekat dengan tempat pengolahan kayu, selalu ada angkutan kayu yang ketika meninggalkan tempat tersebut, muatannya sudah tertutup dengan terpal.

Hal ini bisa dibenarkan karena jika melihat begitu banyaknya angkutan kayu yang keluar dari kawasan Mahalona setiap hari. Karenanya ada dugaan, kayu itu diolah atau diangkut keluar Towuti melalui cara ilegal, untuk bisa lolos dari pantauan petugas berwewenang.

Kepala Seksi I, Balai Gakkum Wilayah Sulawesi, Muhammad Amin membenarkan pada masa pandemi, petugas Gakkum terkendala aturan setiap daerah. Karenanya kurangnya pengawasan, Amin mengaku kasus-kasus pembalakan liar meningkat di masa pandemi.

“Pandemi menjadi kendala karena kegiatan pemantauan dan proses hukum hampir tidak bisa dilaksanakan secara virtual. Gelar perkara bisa dilakukan secara virtual, tetapi verifikasi faktual di lapangan, sulit dilakukan melalui sarana online,” katanya.

JURnaL Celebes merekomendasikan institusi pemerintah terkait dan pemangku kepentingan untuk bekerja sinergi terhadap penegakkan hukum mengatasi kejahatan kehutanan terutama pembalakan liar.

Pengawasan paralel antar institusi pemerintah dan masyarakat lokal/masyarakat adat merupakan salah satu solusi di tengah pandemi.

Rekomendasi untuk tidak mengabaikan pembalakan liar terus mendegradasi hutan karena perlahan-lahan tapi pasti akan menuai bencana, dampak perubahan iklim, dan kehilangan keragaman sumber daya hayati serta sumber pangan.

Pelatihan pemantau independen dari masyarakat adat dan masyarakat lokal ini merupakan satu komponen program untuk meningkatkan kapasitas masyarakat sipil agar bisa mengambil peran.

“Selain pelatihan,pemantauan hutan bagi masyarakat adat/masyarakat lokal, juga lokakarya membangun sinergi untuk instansi pemerintahan dan pelaku industri di bidang kehutanan,” kata Mustam.

Program ini didukung Badan Dunia Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Uni Eropa (EU) lewat Program Penegakkan hukum, tata kelola dan perdagangan di bidang kehutanan/Forest Law Enforcement
Governance and Trage (FELGT) atau FAO-EU FLEGT Programme.

Sebuah inisiatif yang mendukung pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, utamanya di negara-negara yang punya hutan tropis, untuk memperbaiki tata kelola perdagangan yang berdampak pada pengelolaan hutan berkelanjutan.

Dengan dukungan yang sama, pada 2018-2019, JURnaL Celebes sebagai Focal Point Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sulawesi Selatan, bekerja sama dengan JPIK di lima wilayah untuk memantau peredaran kayu di lima provinsi masing-masing: Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Jawa Timur.

“Perkumpulan Jurnalis Advokasi Lingkungan atau disingkat JURnaL Celebes, adalah sebuah organisasi yang terdiri aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO) dan wartawan di Sulawesi Selatan,” katanya.

Lembaga ini memiliki komitmen dan kepedulian untuk mendorong lingkungan hidup lestari, pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, dan masalah-masalah sosial masyarakat melalui pendampingan masyarakat, peningkatan kapasitas, riset, advokasi dan kampanye. (Bd)