www.jejakhitam.com
Tajam Mengungkap Peristiwa

Dituding Rampas Kendaraan Debitur, Ini Tanggapan Ketum Kiwal

JEJAKHITAM.COM (MAKASSAR) – Perusahaan multifinance atau leasing masih tetap bisa menyita kendaraan yang cicilannya menunggak melalui jasa debt collector yang mereka sewa. Namun, ada persyaratan yang mesti dipatuhi.

Seperti yang telah di beritakan oleh salah satu media online di Makassar, bahwa peristiwa yang menimpa seorang Debitur atas nama Saipuddin, perihal kendaraannya yang ditarik oleh pihak leasing melalui jasa debt collector yang terjadi di sekitaran jalan S. Alauddin Kecamatan Rappocini, itu menggunakan cara-cara kekerasan dan pemaksaan. Bahkan menurut Saipuddin, pihak debt collector itu menggunakan atribut salah satu Ormas, yaitu Kiwal Garuda Hitam.

Menanggapi hal itu, Ketua Umum Kiwal Garuda Hitam Sulsel Erwin Nurdin, SE saat di konfirmasi perihal kejadian tersebut mengatakan, bahwa pihaknya dalam menjalankan tugas itu senantiasa di bekali dengan surat kuasa penarikan dari pihak pembiayaan (leasing), serta kelengkapan lainnya, seperti sertifikat fidusia. Dalam bertugas, anggota kami di bekali dengan surat kuasa dari leasing serta kelengkapan persyaratan lainnya. Jadi tidak asal-asalan, apalagi menggunakan gaya premanisme,” ujar Erwin kepada JejakHitam.Com, Kamis malam, (29/04/2021).

Erwin menambahkan, “Kendaraan tersebut di tarik karena belum pernah ada pembayarannya sama sekali, bahkan dia sengaja pasang plat putih gantung, mungkin ingin mengelabui anggota,” ungkapnya.

Dilansir dari Detik.com, Kepala Departemen Pengawasan IKNB OJK Bambang W. Budiawan mengatakan para leasing harus menyampaikan tata cara penarikan jaminan fidusia berupa kendaraan seperti motor atau mobil yang sesuai dengan Undang-undang (UU) Fidusia di depan.

Maksudnya di depan adalah seluruh leasing agar mempertegas bunyi perjanjian fidusia di awal sebelum kredit tersebut berjalan. Sehingga para nasabah mengetahui tindakan-tindakan seperti apa yang mencederai janji atau wanprestasi.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 soal Fidusia ini sebenarnya memperjelas pasal 15 Undang-undang (UU) No. 42 Tahun 1999 tentang Wanprestasi atau Cidera Janji antara Debitur dan Kreditur.

Dalam putusan tersebut pihak leasing tetap bisa menarik kendaraan motor maupun mobil yang proses kreditnya tidak sesuai dengan perjanjian alias macet. Penarikan pun harus dilandaskan pada perjanjian yang jelas, maksudnya klausul-klausulnya diketahui kedua belah pihak.

“Saya sampaikan ini di depan atau di belakang, kalau kami pahami ini di depan, artinya perusahaan multifianace meperbaiki dari sisi perjanjian pinjamannya, karena namanya perjanjian itu harus diketahui kedua belah pihak jangan sampai tidak transparan dan nasabah juga tidak mau,” ucap Bambang di kantor OJK Pusat di Jakarta.

Bambang menambahkan, pihak leasing juga harus membekali para debt collectornya berupa sertifikat dan dokumen-dokumen yang membuktikan nasabah melakukan wanprestasi atau cidera janji kredit. Bambang juga meminta kepada seluruh masyarakat agar membaca lebih detil lagi setiap perjanjian kredit kendaraan bermotor. Tujuannya agar mengetahui risiko jika melakukan wanprestasi ke depannya. Menurut dia masih banyak masyarakat yang kurang memahami isi perjanjian lantaran sudah tergiur dengan kendaraan yang dibelinya.

Senada dengan hal itu, Ketua APPI Suwandi Wiratno dalam keterangannya menyampaikan bahwa, c<span;>itra debt collector atau tenaga jasa penagihan menurun karena adanya oknum yang sering kali melakukan eksekusi di jalan dengan disertai kekerasan. Untuk mengubah citra negatif itu, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) memperketat pengawasan terhadap debt collector.

“Untuk mengubah citra jasa penagih yang kurang baik saat ini, APPI melalui POJK No 29 (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, mewajibkan seluruh tenaga penagih untuk mengikuti pelatihan dan ujian sertifikasi profesi pembiayaan Indonesia,” ujarnya.
.Selama pelatihan tersebut, tenaga jasa penagihan akan diberikan pelatihan mengenai kode etik dan cara menarik (eksekusi) dengan benar dan sopan. Jika lulus ujian, debt collector ini akan menerima sertifikat dan kartu lulus ujian yang berlaku selama tiga tahun.

“Selama dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun, apabila mereka bertindak tidak baik dan tidak sopan, maka perusahaan pembiayaan (leasing) wajib melaporkan perilaku yang bersangkutan misalnya yang bersangkutan melanggar kode etik dan bahkan mengarah ke tindak kriminal,” jelas Suwandi.

“Jika terbukti melakukan tindak pidana, perusahaan pembiayaan akan memberikan sanksi tegas hingga pemecatan, serta kartunya akan dicabut jika terbukti oleh pengadilan melakukan tindak kriminal dan tidak dapat lagi bekerja di industri perusahaan pembiayaan,” pungkasnya.

Terkait mekanisme eksekusi, diakui Suwandi bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi kepada debt collector itu sendiri juga kepada nasabah. Bahwa saat melakukan eksekusi, tenaga jasa penagihan harus membawa sertifikat fidusia, setelah sebelumnya memberikan somasi (SP) pertama hingga ketiga kalinya kepada debitur.

Sebetulnya, dalam hal mengamankan jalannya eksekusi, pihak perusahaan pembiayaan bisa meminta bantuan ke pihak Polri sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) No 8 Tahun 2011 tentang pengamanan eksekusi jaminan Fidusia. Akan tetapi, kebanyakan perusahaan pembiayaan tidak melakukan hal itu karena proses birokrasinya yang ribet dan bertele-tele. (Budhy)