www.jejakhitam.com
Tajam Mengungkap Peristiwa

Gedung PWI Sulsel Disegel Satpol PP, Ini Masalahnya

JEJAKHITAM.COM (MAKASSAR) – Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menutup gedung Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang terletak di Jalan AP Pettarani, Kelurahan Tamamaung, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar.

Puluhan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dikerahkan untuk mengamankan aset Pemerintah Provinsi tersebut.

Sempat diwarnai ketegangan antara aparat Satpol PP dan pengurus PWI yang saat itu berada di lokasi. Anggota Kepolisian pun dikerahkan untuk mengamankan penertiban itu.

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Pemprov Sulsel, Mujiono mengatakan, pihaknya sudah melakukan 3 (tiga) kali teguran kepada pengurus PWI dan pengusaha rumah makan yang berada di gedung tersebut. Hal itu sudah sesuai dengan SOP penertiban.

“Kita amankan semua, seperti warkop, Begos, dan lantai dua. Tidak ada namanya eksekusi paksa. Karena sudah kita kirimkan surat pemberitahuan sebanyak 3 kali,” ucap Mujiono, Rabu (25/05/2022).

Ia mengaku, penertiban ini sudah sesuai dengan rekomendasi dari KPK dan Kejaksaan. Aset itu dinyatakan sah milik Pemprov Sulsel, yang statusnya selama ini hanya sebagai pinjam pakai oleh PWI. Namun seiring berjalannya waktu, gedung itu dikomersialisasi.

“Pihak PWI selalu ngotot mau bertahan. Tetapi secara legal standing (kedudukan hukum), itu kami punya (Pemprov). Sudah sering kali kita bahas bersama,” jelasnya.

Mujiono menambahkan, setelah ditertibkan, tidak ada lagi aktivitas yang boleh dilakukan oleh pengurus di kantor itu, karena nantinya akan diserahkan ke biro aset untuk pemanfaatan selanjutnya.

“Soal pemanfaatan, itu nanti tergantung Biro Aset. Apakah akan dimanfaatkan untuk pendapatan (PAD) atau gedung perkantoran,” tambahnya.

Diketahui, polemik penyewaan gedung PWI dan Pemprov Sulsel, sudah sejak lama bergejolak. Bahkan, Peneliti Pusat Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Patria Artha, pernah mengkaji kasus ini.

Ketua PUKAT Bastian Lubis, kepada wartawan menceritakan awal mula kasus tersebut. Ia menuturkan, bahwa masalah PWI dan Pemprov diawali oleh Ruislag atau tukar guling pada tahun 1995.

“Awalnya, gedung Balai Wartawan beralamat di Jalan Penghibur Nomor 1 Makassar, bernama Gedung Gelora Pantai. Gedung itu dimiliki oleh Perusda Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulsel.”

“Pada tahun 1968, Gubernur Sulsel meminta wartawan membicarakan perpindahan kantor PWI ke gedung milik BPD. BPD menyetujui perpindahan dengan syarat PWI harus membayar ganti rugi Rp. 5 juta. PWI pun menyanggupi pembayaran ganti rugi tersebut. Uang yang dipakai membayar merupakan hibah dari Pemprov Sulsel kepada PWI melalui persetujuan DPRD.”

“Karena dana yang diberikan dalam bentuk hibah dan telah dibayarkan ke BPD Sulsel, berarti gedung yang berada di Jalan Penghibur tersebut adalah sepenuhnya milik PWI Sulsel dan tidak ada lagi hak Pemprov di dalamnya,” kata Bastian.

Masalah muncul ketika pada tahun 1995. Gubernur Sulsel yang saat itu dijabat oleh H.Z. Basri Palaguna, menerbitkan surat permohonan tukar menukar/Ruislag Tanah dan Bangunan Balai Wartawan Ujung Pandang kepada pihak ketiga CV. Sari Jati Raya. Hal itu dilakukan (Ruislag) dengan lokasi yang terletak di Jalan AP. Pettarani, lokasi berdirinya Gedung PWI saat ini.

Lanjut, di sisi lain kata Bastian, Ruislag tersebut ternyata dilakukan dengan lahan milik Pemprov Sulsel sendiri, dan bukan milik CV. Sari Jati Raya sebagai pihak ketiga.

Kepemilikan lahan di Jalan AP. Pettarani tersebut oleh Pemprov Sulsel, dibuktikan dengan tiga sertifikat, yaitu pada tahun 1985, 1987, dan 1992, dan tercatat dalam neraca aset Pemprov Sulsel.

Pada tahun 1997, akhirnya terbit berita acara Gubernur Sulsel nomor 593.5/1756/BP, perihal penandatanganan bersama antara Gubernur Sulsel dengan Ketua PWI Sulsel atas Penyerahan Tanah dan Bangunan milik Pemprov Sulsel untuk dimanfaatkan sebagai Gedung Balai Wartawan Ujung Pandang, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel Nomor: 371/III/1997 tanggal 31 Maret 1997.

Pada titik ini, PWI telah kehilangan asetnya yaitu gedung dengan tanah seluas 1.119 meter persegi di Jalan Penghibur Makassar, yang nilainya saat ini diperkirakan telah mencapai Rp. 56 miliar.

Saat ini, polemik Gedung PWI masih berputar pada masalah tidak disetorkannya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp. 1,6 miliar ke kas negara.

Padahal, menurut Bastian, ada masalah yang lebih besar, yaitu hilangnya aset PWI dengan nilai yang jauh lebih besar.

“Telusuri gedung yang hilang, ini ada kesengajaan di Pemprov, yang jadi korban PWI karena asetnya hilang akibat Ruislag,” jelasnya. (*)

Laporan : Arman
Penulis   : Budhy