Aksi Tolak Tambang Marmer di Bone, Warga Bontocani Demo di Kantor Gubernur
MAKASSAR — Massa yang tergabung dalam Aliansi Tolak Tambang Bontocani menyampaikan tuntutan di depan Kantor Gubernur Sulsel, Jalan Urip Sumoharjo, Kota Makassar.
Puluhan mahasiswa bersama masyarakat asal Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, menggelar aksi unjuk rasa menolak tambang marmer, Senin (14/12/2020).
Dalam aksinya, massa mendesak pemerintah provinsi mencabut izin usaha pertambangan atas perusahaan yang beroperasi di Desa Bulusirua dan Bontojai.
“Tambang ini membuat masyarakat resah akibat ancaman kerusakan lingkungan. Pihak perusahaan tidak pernah memperlihatkan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal),” kata koordinator unjuk rasa Andi Suriadi kepada jurnalis saat ditemui di lokasi.
Tak hanya persoalan Amdal, masyarakat sekitar mengaku sejak awal mereka tidak pernah dilibatkan dalam eksplorasi.
Suriadi menyebut, persiapan tambang marmer dimulai pada awal 2018 lalu. Saat ini, kata dia, sudah masuk tahapan eksplorasi. Namun, menurut Suriadi, pihak perusahaan belum pernah sekalipun melakukan sosialisasi kepada warga di dua desa lokasi tambang.
Selain itu, Suriadi mengungkapkan, berdasarkan kajian Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Bone tahun 2012-2032, Kecamatan Bontocani masuk dalam kategori kawasan rawan longsor. Kata dia, aturan itu dijelaskan di pasal 34 ayat 4, Peraturan Daerah Kabupaten Bone Nomor 2 Tahun 2013 tentang RTRW.
“Ini menjadi kekhawatiran masyarakat. Karena ini sangat mengkhawatirkan dan mencemaskan, makanya kami meminta pemerintah provinsi dalam hal ini gubernur untuk mencabut izin tambang di daerah kami,” ungkap Suriadi.
Menurut Suriadi, tambang marmer di Bontocani berpotensi merusak ekosistem lingkungan. Mulai dari penebangan pohon untuk pembukaan lahan, pencemaran udara atau polusi dari alat operasi, hingga mencemari sumber mata air di lokasi tambang.
Jika produksi tambang marmer dilakukan, menurut Suriadi, sumber perekonomian masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai petani, bakal terganggu. Dampaknya pun bisa meluas ke Desa Langi dan Desa Sanrego di Kecamatan Kahu, yang berbatasan dengan Bontocani.
Potensi kerusakan lingkungan karena dampak pertambangan, tambah Suriadi, telah dipaparkan ke pemerintah kecamatan. Namun menurutnya, pemerintah terkesan tutup mata dan enggan memberikan tanggapan.
“Lahan warga yang berdampak adalah pertanian cabai, persawahan dan tambak yang menjadikan aliran air sungai sebagai tumpuannya. Kami mendesak agar gubernur mencabut izin pertambangan itu,” ungkap Suriadi.
Tim penerima aspirasi dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pemprov Sulsel, Ansyar menyatakan, akan menindaklanjuti tuntutan Aliansi Tolak Tambang Bontocani.
“Saya akan utus tim juga ke sana untuk mengecek langsung kondisinya,” jelas Ansyar di hadapan massa unjuk rasa.
Ansyar menambahkan, sebenarnya izin usaha pertambangan daerah telah diambil alih sepenuhnya oleh pihak kementerian. Surat edaran terkait aturan tersebut telah diterbitkan sejak 8 Desember 2020 lalu. “Tapi tetap kita akan kawal seperti apa nantinya. Saya juga akan melaporkan ini ke pimpinan,” ucap Ansyar. (*IDt)