www.jejakhitam.com
Tajam Mengungkap Peristiwa

Setubuhi Pacar di Bawah Umur, Orang Tua Polisikan Seorang Pemuda di Palopo

PALOPO – Satuan Reskrim Polres Palopo membekuk seorang pemuda berinsial GL (21) warga Kelurahan Lebang, Kecamatan Wara Barat, Kota Palopo.

Ia diamankan saat bekerja di Jl. Rante, Balandai Lorong SMK 2 Palopo, Kamis (03/12/2020) terkait laporan oleh MR orang tua dari PI (14) yang merupakan korban persetubuhan.

Pelaku GL diketahui merupakan pacar dari PI, Kasubag Humas Polres Palopo Iptu Edy Sulistiono mengatakan awalnya korban PI meninggalkan rumah selama berhari–hari dan berhasil ditemukan saat berada di Jl. Pinggoli, Palopo.

“Selama saya meninggalkan rumah, saya pergi bersama GL dan telah pernah melakukan hubungan badan dengannya,” sebut PI yang statusnya masih dibawah umur.

Sementara itu Kata Iptu Edy Sulistiono, pelaku saat diintrogasi mengakui perbuatannya yaitu telah melakukan hubungan intim sebanyak satu kali di rumah pamannya di Jl. Sakti Raja, Kel. Lebang, Kec. Wara Barat, Palopo.

“Kini pelaku tengah berada di Mapolres Palopo guna untuk proses hukum lebih lanjut,” tutup Edy.

Kasus kekerasan seksual (pencabulan) terhadap anak masih terus terjadi di Indonesia. Termasuk juga seperti yang terjadi di wilayah hukum Polres Palopo.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah sepantasnya Indonesia ditetapkan sebagai negara darurat kejahatan seksual terhadap anak. Dasar pemikirannya, kasus terus menerus terjadi dan tingkat sebarannya pun sudah merata. Begitupun dengan predator atau pelakunya, bisa siapa saja.

“62 persen dari semua kasus pelanggaran terhadap anak itu adalah kejahatan seksual. Sebaran masalahnya bukanya hanya terjadi dilingkungan terdekat anak dan perkotaan, tapi sudah merambah hingga ke pelosok desa,” kata Arist Merdeka Sirait beberapa waktu lalu.

Dengan adanya status darurat ini, Pemerintah sudah seharusnya mengambil sikap tegas dan tindakan nyata untuk meminimalisir kasus. Salah satu caranya adalah membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) mulai dari tingkat desa sampai kota, dengan melibatkan masyarakat.

“Tim reaksi cepat ini harus diisi oleh masyarakat yang memang mengenal wilayahnya langsung, bisa beranggotakan karang taruna, rukun tetangga, rukun warga, kader posyandu, dan lainnya. Dengan begitu, upaya pendeteksian dini tindak kekerasan seksual terhadap anak akan lebih mudah,” ujarnya.

Para korban yang mengalami kekerasan seksual seperti sebuah siklus, dimana ketika dewasa korban tersebut akan berubah menjadi pelaku kekerasan seksual karena faktor dendam. Dari semua kasus kekerasan seksual, persentasenya lebih dari 60 persen.

Korban pelecehan seksual sudah seharusnya direhabilitasi, minimal dilakukan selama satu tahun. Disamping rehabilitasi, juga perlu pendampingan psikolog, minimal hingga usianya mencapai 18 tahun.

Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, pengakuan pelaku kekerasan seksual pernah menjadi korban kekerasan serupa hanya sebuah alasan.

“Jika baru dicabuli satu kali, pasti dia ketakutan dan merasakan sakit luar biasa. Makanya itu hanya alasan saja. Kecuali, jika sudah pernah berkali-kali kemungkinan besar dia ingin balas dendam,” paparnya.

Sedikitnya, terdapat tiga faktor tindak kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi. Pertama, pelaku menderita penyimpangan seksual (pedofilia), bahkan ada yang melakukan mutilasi (sadism). Kedua, pelaku penderita psikopat, sehingga sulit disembuhkan dan tidak akan pernah menyesali perbuatannya. Ketiga, pelaku sedang melakukan ritual ilmu hitam dengan syarat harus melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur.

“Dari ketiga faktor ini, masalah utama adalah lemahnya perlindungan terhadap anak baik dari orangtua, keluarga, lingkungan, dan terakhir adalah pemerintah,” Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Prof.Dr. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara ini. (*)